Minggu, 19 Oktober 2008

Mimpi Pelangi (Laskar Pelangi: Review & Reflection)

Minggu sore (19/10), akhirnya kesempatan untuk menonton film yang sedang hangat diperbincangkan. Yup! Laskar Pelangi! Buah tangan Andrea Hirata memang harus diacungkan jempol. Akting natural dari seluruh pemain laskar pelangi, kepiawaian Riri Reza mengemas polemik dan drama dalam seni yang mengaggumkan dibalut pesan moral yang mendalam. Hum.. semua itu mampu mengalirkan deras peringatan untuk pelajar Indonesia.

Sedikit guyonan, ketika Laskar Pelangi berkunjung ke sekolah SD PN Timah yang notabene adalah cerminan anak-anak yang beruntung mengenyam pendidikan dan anak yang terkungkung dalam sebuah pengkotakkan. (Coba bandingkan antara kampus kita & Universitas Penguras Harta! Mirip kan...secara banyak kambing hilir mudik di kampus termegah di Cikarang, gitu lhooooo! J) Tapi, bukan hal itu yang mau saya refleksikan dalam tulisan ini!

Menurut situs Wikipedia, pendidikan artine secara harfiah ialah : "degawa metu sekang", dadi pendidikan ialah rangkaian proses nggo mindahna anak/peserta didik metu sekang keadaan urung mandiri, urung dewasa, termasuk urung merdeka menuju keadaan sing lewih mandiri, lewih dewasa, bertanggung jawab lan berbudaya. Proses kuwe meliputi pengajaran keahlian khusus, pemberian pengetahuan, pertimbangan karo kebijaksanaan. (http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Pendidikan)

Sedikit mengerutkan alis dan berusaha memberanikan menarik kesimpulan dan berefksi bahwa pendidikan diciptakan untuk membantu, mencerdaskan, memberi seseorang ke arah yang lebih maju. Saya pun percaya bahwa ilham adanya President University pun ada bukan untuk mempromosikan usaha properti di sudut Timur kota Jakarta.

Sayapun meneguhkan diri akan kenyataan bahwa President University terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin mengembangkan diri, bukan hanya bualan belaka para tikus-tikus pencari buli-buli rupiah!

Sedikit berbangga diri bersekolah dan mengenyam pendidikan di tempat yang memberikan beasiswa bagi mahasiswa/i nya yang memang layak untuk mendapatkannya bukan hanya sekedar bagian dari strategi & taktik marketing belaka!

Dengan mengumpulkan segenap semangat (saya berharap teman-teman sependapat dengan saya), manfaatkanlah pendidikan yang anda tempuh saat ini! Sarana & fasilitas hanyalah penunjang industri pendidikan. Sekalipun tanpa hal itu semua, kita masih dapat menuai hak kita, asalkan satu syarat saja yang ingin kita penuhi: Semangat! Bahkan uang bukanlah penghalang untuk menuju pintar dan keterbatasan mental maupun fisik bukan menjadi batu sandungan untuk terus maju!

Saya pun yakin kisah Laskar Pelangi ini memang sangat mengaharukan bagi seluruh pelajar dan tenaga pendidik. Seuntai keingintahuan yang mendalam menyelami nurani saya, masih adakah tenaga pendidik seperti yang diceritakan dalam tokoh Bu Muslimah? Dalam terawangan haru yang bergumul, saya ingin mengucapkan terimakasih pada semua dosen yang telah bersusah payah menuju Cikarang. Dalam debu, waktu & keringat telah menyisakan waktu untuk kami. Tak terhitung pengorbanan kalian, sekaan air mata & kekecewaan menghadapi kami semua. Meskipun keadaan kampus yang cuykup memprihatinkan..hiks! (Seperti: Saat membuka Power Point, mouse komputer sering ngadat..!! :)

Terimakasih. Saya pun yakin tidak ada seorang dosen di kampus kita, yang menghalalkan segala cara demi pandangan kehormatan, uang atau bahkan sebutan ’Master of field’!

Lebih kurang 6 tahun universitas ini tumbuh; menengadahkan kepala, menatap penuh optimis, saya berharap President University dapat maju dan merealisasikan semua janji dan semua harapan untuk menciptakan & mencetak kami menjadi sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas!

Akhir dari refleksi ini, dengan membulatkan tekad, jangan biarkan harapan terpasung. Kita masih muda, perjuangan belum terkubur! Dalam polemik akreditasi, kurikulum, fasilitas, kualitas dosen yang semakin terpuruk, President University : It Just Begin!

Kamis, 09 Oktober 2008

Air Tuba Dibalas dengan Susu Strawberry

Sudah dua kali Vita ke rumah Yani untuk meminjam buku Matematika. Dua kali pula hanya nihil yang didapat Vita. Maklum besok ada ulangan harian yang menjadi musuh besar Vita. Vita sendiri tidak mempunyai buku karena sudah kehabisan persediaan dari pihak sekolah.

Rumah Vita dan Yani memang berdekatan. Dalam hal prestasi, Yani memang jauh lebih unggul dari Vita. Yani selalu menempati posisi juara kelas setiap semester. Matematika merupakan pelajaran favorit bagi Yani. Berbeda dengan Vita yang menganggap sebagai mimpi buruk.

Meskipun Yani tergolong anak yang cerdas, ia sering tidak mau berbagi ilmu dengan teman-temannya yang dianggap tidak satu level dengan dirinya. Yani sendiri sebenarnya sudah belajar dan menguasai materi yang akan diujikan besok. Namun ia tetap tidak mau memijamkan buku tersebut kepada Vita.

Meskipun Vita menempati posisi rangking dua setelah Yani, ia merasa bingung karena ia sama sekali belum belajar dari soal-soal yang ada di buku. Ia mendekati neneknya yang sedang sibuk menyulam sweater.

” Nek, kalau besok Vita dapat telur bundar lagi, gimana?”

Nenek tersenyum heran mendengar celoteh Vita,” Ya, kamu belajar dulu!”

“Tapi Vita nggak punya buku. Tadi Vita ke rumah Yani, tapi Yani sedang belajar dan bukunya dipakai,” ujar Vita.

“Kenapa kamu nggak fotokopi saja?” tanya Nenek bijak.

“Vita juga mau begitu, tapi nggak boleh sama Yani. Katanya melanggar undang-undang. Besok kan ulangan matematika, Vita takut nggak bisa, Nek,” rengek Vita.

“Oh…ya sudah! Kalau begitu Nenek yang akan ke rumah Yani.”

“Vita ikut ya, Nek!”

Akhirnya Nenek sendiri ikut turun tangan untuk meminjamkan buku atas permintaan cucu tunggalnya. Nenek menghampiri Tante Lidya, tantenya Yani yang sedang membersihkan beras di teras rumah.

“Permisi, apa Yani ada?” tanya Nenek sopan.

“Wah baru saja Yani pergi dengan mamanya. Katanya mau ke pesta,” jawab Tante Lidya.

“Kira-kira kapan pulangnya ya?” tanya Nenek lagi.

“Mungkin agak malam. Memang ada apa ya?” balas Tante Lidya.

“Besok ada ulangan Tante. Vita nggak punya buku padahal Vita mau fotokopi buku Yani,” jawab Vita sopan.

“Buku ya?” Tante Lidya tampak berpikir.

“Tadi kayaknya Yani bawa buku. Mungkin dia mau membaca di pesta,” analisa Tante Lidya.

“Oh begitu. Ya sudah terimakasih ya,” kata Nenek lembut. Nenek menarik tangan Vita dan mengajaknya pulang.

Wajah Vita tampak bingung sekali. Untuk meminjam buku pada teman yang lain akan lebih sulit, karena rumah mereka jauh dan belum tentu punya buku juga.

“Sudah, Vit! Kamu belajar dari catatan saja,” ujar Nenek berusaha menenangkan Vita.

“Iya, Nek! Tapi Vita takut besok nggak bisa jawab,” jawab Vita cemas.

“Nanti Nenek doakan kok! Vita pasti bisa!” ujar Nenek berusaha meyakinkan.

Vita mengangguk pelan. Dalam hati, Vita sudah tahu kebiasaan Yani. Ini bukan kali pertama Yani melakukan hal yang sama pada Vita. Namun ia tetap sabar menghadapi tingkah laku sahabatnya itu.

Vita terpaksa belajar dengan materi seadanya. Meskipun baru kelas lima SD, Vita takut menghadapi Ujian Nasional yang akan diujikan tahun depan. Ia berusaha mempersiapkan dengan baik terutama pelajaran matematika. Ia tidak ingin membuat Neneknya sedih jika harus mengulang.

Vita terus menunggu kepulangan Yani hingga matanya tak sanggup lagi menahan kantuk. Vita terpaksa tidur sebelum mendapat buku yang ia inginkan.

Esok harinya, Vita bergegas menuju rumah Yani untuk meminjam buku. Melihat keuletan Vita, Yani terpaksa meminjamkannya.

Wajah Vita begitu ceria ketika menerima buku yang dipinjamkan Yani. ”Terimakasih ya!”

Hanya tinggal lima belas menit Vita membaca buku sebelum memulai ulangannya. Apa yang ditakutkan Vita terjadi. Ia benar-benar kurang mengerti soal yang Pak Guru berikan.

Yani dengan mudah menjawab soal demi soal. Ia menyerahkan lembar jawaban di urutan pertama di antara teman-temannya. Sementara Vita mengumpulkan lembar jawabannya menjelang detik-detik terakhir waktu usai.

“Gimana Vit? Kamu bisa?” tanya Yani dengan nada setengah mengejek.

Vita tersenyum tulus, “Untung ada buku kamu! Jadi aku bisa sedikit sih.”

Di dalam hati Yani, ia tersenyum puas. Tampaknya posisi juara kelas akan terus dipegangnya. Kini saingannya tidak akan mengunggulinya, terutama dalam pelajaran Matematika!

TREETTT…TREETTT… Bunyi bel tanda berganti pelajaran terdengar. Kali ini kelas seni rupa. Semua anak kelas lima mempersiapkan kain yang minggu lalu diberitahu Ibu Dina.

Wajah Yani tiba-tiba berubah pucat pasi. Ia lupa membawa kain yang Ibu Dina minta! Ia pun tahu kebiasaan marah sang guru jika muridnya tidak disiplin. Kalau tidak disuruh keluar kelas, ya paling disuruh berdiri di sudut kelas hingga bel pulang terdengar.

Apa kata dunia nanti. Sang juara kelas kena hukum Ibu Dina! Aduh! Yani benar-benar merasa cemas.

Akhirnya, Ibu Dina dating ke ruang kelas. “Hallo anak-anak! Kalian tidak lupa membawa kain yang Ibu minta minggu lalu kan?”

“Tentu tidak, Bu!” jawab Badu keras disambut dengan decak tawa teman-temannya.

“Baiklah. Ibu akan memeriksa satu per satu ya! Kalau ada yang sampai lupa, harap berdiri di pojok kelas!” ancam Ibu Dina.

Satu per satu meja murid diperiksa olehnya. Meja tempat Yani memang agak jauh dari posisi Ibu Dina. Namun sekarang, Ibu Dina semakin mendekat!

“Yani, mana kain punyamu?” tanya Ibu Dina.

“Yani lupa, Bu...” jawab Yani pelan.

Ibu Dina menarik nafas panjang. “Ya sudah, kamu…”

“Tunggu, Bu! Ini kain punya Yani! Tadi dia lupa menaruh di mejaku, Bu,” bela Vita tiba-tiba.

Ibu Dina menggelengkan kepala. “Yan, kamu jangan lupa seperti itu dong!”

Yani mengangguk cepat. Keringat dingin mengalir di dahinya. Ia menerima kain yang diberikan Vita.

Nasibnya terselamatkan berkat Vita. Ia tak habis pikir mengapa Vita mau membantunya seperti ini. Dalam hati kecilnya, Yani menyesal dan malu atas tindakan yang ia lakukan pada Vita kemarin.

Usai jam sekolah, Yani mendekati Vita. “Makasih ya, Vit!”

“Sama-sama. Kamu kan juga udah baik denganku! Lagipula hari ini aku membawa dua kain. Kemarin Nenek salah ukur, jadi ada dua potong deh!” jawab Vita enteng.

“Kalau nggak ada kamu, mungkin aku udah berdiri di pojok kelas, Vit! Maaf ya selama ini aku pelit padamu!” ujar Yani penuh penyesalan.

“Ah nggak kok! Udah anggap saja kamu beruntung hari ini, Yan!”

Yani tersenyum, “Vit, hari ini kita pulang jalan kaki saja ya! Kayaknya Bang Udin lupa jemput kita lagi deh! Sudah jam satu, aku lapar. Tadi pagi aku nggak sarapan.”

Vita segera mengangguk cepat. “Tunggu, kamu lapar, Yan?” Vita membongkar isi tasnya dan memberikan sekotak susu cair rasa strawberry pada Yani.

“Untukku?” tanya Yani seolah tak percaya.

Vita mengangguk cepat. “Iya, minum saja! Tadi aku lupa Nenek menaruh susu di tasku.”

“Tapi…” Yani sedikit ragu.

“Lagipula jarak sekolah ke rumah kan lumayan jauh, nanti kalau kamu pingsan sebelum sampai rumah kan aku yang repot!” ledek Vita dibarengi tawa cerianya.

“Ah kamu bisa saja! Kamu nggak mau?” tanya Yani lagi.

“Tadi pagi aku sudah sarapan jadi pasti kuat sampai rumah!” jawab Vita semangat.

“Hari ini kamu baik sekali padaku. Terimakasih ya, Vit!”

Yani tesrsenyum simpul, dalam hati ia sangat senang punya sahabat seperti Vita. Ya, air tuba yang dilakukan Yani dibalas dengan susu strawberry! Kini, Yani berjanji untuk selalu baik pada semua teman-temannya.

By: Natalia Viena Puspita
(Majalah Bobo edisi 2 Oktober 2008)^^//my simple story for the beginning..

Senin, 05 November 2007

assignment 2

Hourglass

It was ceremonial when the students, lecturer, and the guest mingle to join the multicultural event. In the other hand, unpredictable situation occurred. A mid night-yesterday (10/30), was the tragic situation in President University history.

In front of the wonderful stage, student brawl was happened. Mutual mocking, throwing the stone, hitting, and stabbing were occurred as its symbol.

Inter-batch conflict alleged to be the trigger said Mr. Sendy Widjaja, Student Affair of that college. “The conflict between students batch 2005 and 2006 had happened before the last tragedy. As mediation, by the meeting between both of them, we attempted to decrease their emotion. In short, they can’t accept it.” The reason he estimated, the defeated of student candidates batch 2005 in the Student Council Election 2007 few weeks ago.

President of Student Council who recently elected, Anthony (19) gave apologies to all victims and any side that felt disappointed about the horrible accident. He didn’t know well why it occurred. “I’m really sorry. I’m ready to step down from my position if it’ll solve the problems.”

Mrs. Erma, a woman felt depression when she looking her daughter has passed away. It was Lola (4) who has poor body with the blood flow from her stomach. She is the victim of wrong cartridge by policeman who tried to stop a tragedy. She died before the medical teams attend to the annual event.

She gave some illustration about the tragedy:

When the event opened, some students were mocking each others. She thought to be joking till the stone arrive to her head. People in the back, in the left and right side was run to rescue themselves.

College students bring any kind of weapon and killed the others. The incredibly stage was collapse in the parking area of Resto Plaza.

Police came lately otherwise their office is near with the location. Dramatically, the crowds were fright and hysteria at the moment. Police gave alert shoots to them. Lola therefore is the victims of wrong cartridge by policeman who attempted to stop a panic condition.

“Lola is my daughter only. She died really in young old,” said Mrs. Erma that felt suppressed.

Beside Lola, Daniel (19) and Nadia (21) who died as muted witness of the tragedy; 10- students, 6- lectures, 2- staffs survived by wounded in their body.

“To make sure that no other reason why student brawl happened, the observation will continue this case besides the mistake of his subordinate,” Poerwanto, Cikarang Police leading man said. “I’ll take certain action in order to decrease the case possibility occurs again.”


Senin, 22 Oktober 2007

untuk kuntum demokrasi

dada busung terbungkus asap militer
jejak tegas meremukkan tulang
tikaman terlihat pada jemari kasar sang junta
daun2 mengeletup tak peduli arus

kata: ingin BEBAS…
pada ukiran nisan tengkorak abu2
terbias peluh, bulir, kristal membeku
pekat pengorbanan menagalir, berlari mengejar
ke samudra


demokrasi: akankah?


Mimpi Buruk Than Swe

Kekerasan junta militer Myanmar seakan menjadi sebuah tamparan panas bagi dunia. Bagaimana mungkin Negara asal Sekjen PBB dimasa silam menjadi bergejolak seperti ini? Apakah demokrasi adalah sesuatu yang dianggap tabu dan kedamaian seolah bunga tidur belaka?
Barisan biksu jubah merah seakan tak mempedulikan jiwa, menanti di depan singgasana Than Swe yang tetap bersikeras dalam pendiriannya. Linangan air mata mengalir bersama bulir pekat merah bukan rintangan bagi rakyat menuntut kebebasan. Pengawasan yang dilakukan junta militer telah memenjarakan seluruh aspek kehidupan ruang gerak rakyat sipil.
Kekuatan media massa yang harusnya menjadi senjata ampuh untuk melawan sang penguasa juga tak elak dikontrol. Bagi masyarakat setempat yang mencoba melakukan orasi pembangkangan pastinya menjadi duri dalam daging bagi pemerintah, tak segan untuk disingkirkan melalui serangkaian siksaan.
Melihat kondisi seperti ini, Dewan Keamanan PBB tidak tinggal diam, Duta Perdamaian untuk Myanmar, Gambari pun diutus meski adanya perbaikan yang significant masih dicoba. Berbagai jalan ditempuh demi melunakkan sang Junta, mulai dari kecaman dunia dan masyarakat Myanmar sendiri hingga Dewan Keamanan PBB turun tangan, namun sang junta masih bersikukuh, ini adalah jalan terbaik bagi Myanmar dan masa depannya.
Indonesia sebagai anggota ASEAN juga tak berdiam diri, protes pun menalir meski tak digubris juga. Kondisi ini tak berbeda jauh dengan dunia politik di Indonesia selama kuran lebih satu dasawarsa silam, ketika Soeharto masih tegak di posisinya. Mempertahankan posisi dengan beragam cara ialah halal dalam kotornya dunia politik. Sepenuhnya yang dilakukan junta militer Myanmar dan antek Soeharto tak ada bedanya, menindas siapa pun yang menuntut keadaan demokrasi. Bedanya dengan Indonesia, ketika seluruh rakyat bermufakat meminta Soeharto turun di Gedung MPR/DPR ia pun menurutinya, sedangkan Than Swe masih duduk tenang memimpin negara Seribu Pagoda tersebut.
Hal yang terjadi sampai saat ini tentunya merupakan batu sandungan bagi Than Swe mewujudkan Myanmar seperti yang diinginkannya, demokrasi baginya hanya sebuah kisah dongeng. Tuntutan biksu dan rakyat merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah panjang Myanmar kelak. Mungkinkah damai menjadi jawaban bagi penduduk setempat atau mimpi buruk Than Swe berakhir dalam genggamannya?

Kamis, 18 Oktober 2007

assignment 1

Thursday- Jakarta: When we see around our environment, many children sell a lot of tears in the central way and scream through the world to have mercy on coin. They are victims of kidnapping. If you have a child, you’d never worried after the invention of electronic device anti kidnapping for children by an old man, Prof. Andi Mararangeng, SH,. M. Sc.“It’s very great to minimize the criminality,” said Sutanto, Police President of Republic Indonesia in the welcome speech of Research Night.

nb: sorry telat sir